Selasa, 12 Oktober 2010

KONSTRIBUSI ILMU MANTHIQ DALAM USHUL FIQIH

Konstribusi Ilmu Manthiq Dalam Ushul Fiqih
Ketika membaca tulisan saudara Bogel (samaran) dalam sebuah forum penulis kaget, karena tanpa dilandasi dengan argument ilmiah dan bukti yang valid. Ia  menyimpulkan bahwa Ilmu Ushul fiqih dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Imam Syafi’I sebagai peletak dasar disiplin ilmu ushul fiqih melalui kitabnya ar Risalah dikatakan  terpengaruh oleh gaya pemikiran Aristoteles. Pendapat tersebut tentu ngawur karena akan berimplikasi pada gugurnya kontribusi para ulama Islam terdahulu yang telah memelihara dan menjaga eksistensi ilmu-ilmu keislaman dari masa ke masa.  Untuk mengetahui lebih jauh tentang hal tersebut mari kita lihat;

Diketahui bahwa suatu peradaban lahir dan berkembang melalui proses akulturasi (persentuhan) dengan kebudayaan lain atau saling meminjam (at ta’tsir wat ta’atsur). Sebelum munculnya agama Islam terdapat dua kebudayaan besar yang mewarnai peradaban dunia saat itu; Yunani dan Romawi. Pada masa itulah lahirnya ilmu filsafat yang berasal dari bahasa Yunani hasil gabungan dua kata; filo berarti cinta dan sofia berarti bijak. Nah, manthiq (logika) adalah salah satu bagian ilmu filsafat. 

Para sejarawan Islam kesulitan menentukan awal mula persentuhan ilmu-ilmu keislaman dengan filsafat Yunani, sekalipun banyak pendapat yang mengatakan bahwa itu berawal pada masa Dinasti Abbasiah yang terkenal dengan zaman keemasan Islam dan kebangkitan ilmu pengetahuan.

Namun kalau kita telaah lebih mendalam, sebenarnya transformasi ilmu Yunani ke tubuh Islam telah dimulai sejak  masa Dinasti Umayyah (40-132 H/661-750 M) tepatnya pada masa pemerintahan Khalid Bin Yazid Bin Muawiyah (wafat thn 85 H/704 M) sebagaimana dipertegas oleh Ibn An Nadim dan Al Jahizh. (lihat: al fihrist karya Ibn An nadim, Hal: 242 dan rasa’il jahiz karya al jahiz, Hal: 93).

Faktor penyebabnya antara lain: pertama Spirit Helenisme (aufklarung) yang timbul karena “al futuhat al islamiah” (perluasan kekuasaan islam), sehingga menimbulkan akulturasi antara umat Islam dengan penduduk setempat. Kedua,karakter agama Islam yang mendeklarasikan nilai-nilai persamaan antara arab dan non arab. Ketiga,ajaran Islam sebagai agama terbuka. Keempat,kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat.
Jadi bisa disimpulkan bahwa filsafat Yunani masuk ke dunia Islam pada masa dinasti Umayyah melalaui akulturasi budaya. Ulama Islam menyebut filsafat Yunani dengan nama al ulum al qadimah atau ulum al ‘awa’il (ilmu kuno atau ilmu terdahulu).

Tabiat  ajaran Islam yang berlandaskan pada pengembangan al quwah al ilmiah dan al quwah al amaliah, menyebabkannya terbuka untuk menerima inovasi baru yang selaras dengan maslahat hidup manusia. Karena itu para ulama ushul fiqih dan ilmu kalam mempelajari manthiq (logika) dan memperkenalkannya kepada umat Islam. Jadi merekalah yang awal mula memperkenalkan ilmu tersebut kepada umat Islam.


 Korelasi Antara Ushul Fiqih dan Logika
Al Bahariy dalam kitabnya Musallam At Tsubut mendefinisikan Ushul Fiqih: Pelbagai metode pengenalan ilmu fiqih secara umum, metodologi pengambilan dalil (istidlal/ijtihad) dan kapasitas/kualifikasi keilmuan sang pelaku istidlal (mustadil/mujtahid). Atau dengan kata lain ushul fiqih adalah metode penelitian ulama fiqh atau konsep yang menjaga pola fikir dari kesalahan ketika melakukan istidlal (penyimpulan hukum)
Jika ushul fiqh adalah logika fiqih, apakah ia dipengaruhi oleh logika Yunani? Karena logika adalah konsep yang menjaga cara berfikir filusuf dari kesalahan berfikir. Jika Imam Syafi’I adalah peletak dasar ilmu ushul fiqih dalam kitabnya Ar Risalah, apakah metode penulisannya dipengaruhi logika Aristoteles yang lebih dahulu muncul?
Sejarah Metodologi Ushul Fiqih dan Pengaruhnya
Para sejarawan Islam sepakat bahwa peletakan (kodifikasi) ushul fiqih sebagai sebuah disiplin ilmu pertamakali dilakukan oleh Imam Syafi’I dalam kitabnya Ar Risalah. Sekalipun demikian, ruh (spirit) ilmu ushul fiqih sudah ada sejak masa Abu Hanifah (wafat thn 150 H/767 M) bahkan pada masa sahabat. Dari mereka sumber beberapa kaidah yang dibutuhkan dalam istinbath (penyimpulan hukum). Sebagai contoh, Ibnu Abbas meletakkan kaidah Al Khos dan Al ‘Am, lalu dari sahabat lain dikenal Al Mafhum bahkan Al Qiyas (analogi) yang merupakan substansi kajian ushul fiqih.
Sebelum masa Imam Syafi’I, tidak ditemukan referensi tertulis berisi metode umum yang menggariskan kaidah-kaidah (cara-cara) yang mesti dilalui pakar fiqih untuk melakukan istinbath (penyimpulan hukum). Ini tidak hanya diakui oleh ulama Islam seperti Imam Ahmad Bin Hambal, Imam Al Juaini dan Ibnu Rusyd tetapi juga oleh orientalis barat seperti Goldziher.

Menurut Dr. Ali Sami Al Nasyar, ada tiga argumen yang menjadi penyebabnya: Pertama: naskah tertulis metodologi ushul fiqih yang pertamakali sampai kepada kita adalah Ar Risalah karya Imam Syafi’i. Kedua: kredibilitas dan kapabilitas Imam Syafi’i serta penguasaan yang luas terhadap aspek-aspek ushul fiqih. Itu menjadi faktor umat Islam tidak mengkaji metodologi lain yang ada sebelumnya. Ketiga: keaktifan ulama Mazhab Syafi’I dalam menyebarluaskan dan mempromosikan temuan Imam Syafi’I sehingga mereka hanya fokus menulis buku-buku yang khusus mengulas sejarah dan biografi sang Imam.

Pada awal mula perkembangannya (sebelum masa Abu Hanifah) Ilmu ushul fiqih tidak stagnasi tetapi terus berkembang seiring dengan ditemukannya metode-metode baru oleh para ulama. khususnya di Irak yang terkenal sebagai pusat madrasah ar ra’yi.
Memang ada fenomena yang muncul kala itu; logika Aristoteles telah diterjemahkan ke bahasa Arab dan tersebar ke berbagai kalangan serta ulama fiqih di Irak yang kebanyakan non arab sementara logika Aristoteles sudah diterjemahkan juga jauh sebelumnya ke bahasa Persia .

Namun demikian, tidak berarti ilmu ushul fiqih lahir dan tumbuh di bawah pengaruh logika Yunani. Tetapi dipengaruhi metode ilmu kalam atau lebih jelasnya terjadi proses saling meminjam antar kedua disiplin ilmu sebagaimana disebutkan Imam Al Juaini, Az Zarkasyi dan Al Iji. (lihat: al burhan karya al juaini juz:1 hal: dan al bahrul muhith karya az zarksyi hal: 80-102 )

Metode tersebut kemudian sampai ke ulama mazhab Hanafi. Selanjutnya mereka meletakkan ushul (pokok/kaidah umum) berdasarkan furu’ (cabang) fiqih. Atau dengan kata lain,Dalam menetapkan kaidah mereka selalu berpegang kepada hukum furu’ yang diterima dari imam-imam mereka.

Kemudian muncul Imam Syafi’I dengan Ar Risalahnya yang meletakkan furu’ (cabang) fiqih berdasarkan ushul (pokok) atau kaidah-kaidah umum.  Ini berlawanan dengan metode yang digunakan oleh ulama mazhab Hanafi.Dalam metodenya, Imam Syafi’I  lebih cenderung pada penggunaan kaidah-kaidah umum. Hal inilah yang menyebabkan banyak kalangan menganggap metode yang ia gunakan mirip dengan gaya pemikiran logika yunani

Metode Syafi’i kala itu sempat mengalami perkembangan yang signifikan dan mengalami kematangan proses. beliau menganalisa dan menyajikannya secara apik serta menambahkan perbagai bahasan penting seperti bahasan “al-bayan” yang tidak dibutuhkan oleh generasi pertama karena Rasulullah masih hidup.  Atau kalau dimisalkan: jika sebelum masa Aristoteles sudah terdapat metode logika seperti induksi Socrates atau pembagian Plato yang berkontribusi besar dalam penulisan kitab organon, maka Imam Syafi’I telah menemukan sebelumnya metode-metode ushul fiqih yang berpengaruh dalam penulisan Ar Risalah.

Menurut Dr. Sami Al Nasyar, ada 3 faktor penyebab sehingga sebagian kalangan berasumsi bahwa Imam Syafii’I dalam metode penulisannya dipengaruhi oleh logika yunani:

Pertama: ilmu logika sudah diterjemahkan ke dunia islam jauh sebelum masa Imam Syafi’I. Mungkin beliau pernah mempelajari ilmu manthiq terutama disaat sedang  mempelajari ilmu kalam. sebagaimana ia akui sendiri :”jika saya mau menulis buku untuk setiap orang yang berbeda pendapat tentu akan saya lakukan tetapi itu bukan tipe saya.” Dan ia juga mempelajari ilmu astronomi. Dua ilmu tersebut (ilmu kalam dan astronomi) adalah eksak (ilmu pasti) dan bisa dipastikan pengkajinya telah mengenal riset ilmiah yang dikenal pada masa itu.

Kedua : penguasaan Imam Syafi’I terhadap Bahasa Yunani. Disebutkan oleh Abu Abdillah Al Hakim dalam biografi Syafi’I bab 24 bahwa Imam Syafi’I pernah ditanya oleh Khalifah Harun Ar Rasyid tentang ilmu kedokteran. Beliau menjawab: saya menguasai bahasa Romawi seperti Aristoteles, Mehraris, Parforius, Galineus, Buqrates dan Asdaflis.

Ketiga: jika kita mengamati teks-teks ushul fiqih secara cermat dan akurat, kita akan temukan pendapat Imam syafi’I mirip dengan Aristoteles dalam bahasan qiyas (analogi) ushul fiqh yaitu permisalan/perbandingan yang menurut Aristoteles bersifat zhan (dugaan/asumsi kuat).

Factor-faktor penyebab di atas tidak bisa dijadikan argument kuat untuk mengindikasikan kitab Ar Risalah dikontaminasi (dipengaruhi) logika Aristoteles. Tidak mesti karena pengenalan Syafi’I terhadap ilmu manthiq menyebabkannya terkontaminasi dalam peletakan metodologinya. Beliau mengenal ilmu kalam sekalipun demikian, ia tidak berbicara banyak dalam bidang itu. ulama ilmu kalam sendiri mengenal logika Aristoteles tetapi mereka tidak mengadopsi metodenya, bahkan mereka mengadopsi metode ushul fiqih. setidaknya Imam Syafi’I hanya menambah unsur (elemen) bayan dan naql (bahasan kitab dan sunnah) seperti silsilah rawi dan ‘adalah perawi hadits.

Penguasaan Syafi’I terhadap bahasa Yunani bukanlah alasan untuk mengatakan bahwa metode penulisannya dipengaruhi  oleh logika Aristoteles. Uslub ( gaya bahasa) dan metode pembahasan/penulisan Ar Risalah tidak mengindikasikan adanya korelasi (kaitan) antara metode Syafi’I dengan kajian asing lain berkaitan dengan konsep pemikiran/penalaran (paradigma) Arab dan bahasa Arab.

Sekalipun memang benar dalam Ar Risalah terdapat susunan logika sebagaimana disebutkan oleh Prof Dr Musthafa Abdul Razik: ittijah (orientasi/alur) logika tersebut tampak pada peletakan definisi suatu masalah lalu beranjak ke peng-klasifikasian (pembagian), kemudian beralih ke penyebutan contoh/misal dan berakhir pembuktian terhadap setiap contoh. kadangkala Syafi’I memaparkan beberapa definisi untuk membandingkan (komparasi) permasalahan lalu berakhir ke penyeleksian – juga tampak dari uslub ( gaya bahasanya) dialektika debat yang bergaya logika sehingga anda mengira kecermatan penelitian, keakuratan pemahaman, penguasaan dalil dan pemberian bantahan seolah-olah menjadi dialog filsafat. Tetapi sebenarnya ia berpijak pada penggunaan An Naql (al qur’an dan al hadits), kemampuan merangkainya.

Kalau diteliti lebih cermat terdapat juga perbedaan antara kedua metode; di mana gaya pen-definisian Syafi’i bukan seperti Logika Aristoteles yang dibangun berdasarkan al mahiyah (inti/substansi) dan pembagiannya ke jenis dan fasal dan bukan juga uslub ( gaya bahasa) Logika Aristoteles yang dibangun berdasarkan tamtsil dan istidlal (pengambilan dalil/penyimpulan dalil) sebagaimana terdapat di buku organon.

Perbedaan juga tampak pada natijah (konklusi) qiyas–menurut istilah Syafi’i- dan tamtsil- menurut istilah Aristoteles yang bersifat zhanni (asumsi/dugaan kuat), secara realita qiyas berkaitan dengan prinsip umum fiqih yang menyatakan hokum-hukum fiqih bersifat zhanni. sekalipun/walaupun semua ulama ushul fiqih menganggap/menilai qiyas mengantarkan seseorang ke tingkatan yakin (pasti) jika berkaitan dengan masalah-masalah keyakinan. Jadi qiyas seperti ini berbeda dengan tamtsil (permisalan/perbandingan) dari sisi aspek substansi dan dasar pemikirannya.
Dengan demikian, gugurlah asumsi orang yang mengatakan bahwa metode penulisan imam As Syafi’I dalam Ar Risalahnya dipengaruhi oleh logika Aristoteles. Bahkan Imam Syafi’I  mengharamkannya. karena logika Aristoteles berpijak kepada karakter bahasa Yunani sementara ia berbeda dengan bahasa Arab, sehingga dalam banyak aplikasinya ditemukan pertentangan.

ALIRAN USHUL FIQH
Dari uraian diatas bias disimpulkan bahwa sikap ulama ushul fiqih terhadap logika bisa di klasifikasikan menjadi dua:
Pertama: aliran fuqaha
Mereka memadukan metode ushul dengan fiqih dan memperbanyak masalah furu disertai contoh dan dalil.- bahasan-bahasan komprehensif dan integral  terbentuk dari kasus-kasus fiqih- metode ini direpresentasikan oleh para ulama Fiqih Mazhab Hanafi, antara lain Abu Zaid Ad Dabbusi (430 H), yang berjasa dalam menyempurnakan bahasan qiyas dan kriterianya –  kemudian berpengaruh besar terhadap metode fiqih dalam karyanya Ta’siis An Nazhar.
Kemudian dilanjutkan oleh Al Bazdawi dengan kitabnya Kasyf Al Asrar, Lalu Ibnu As Sa’ati yang menggabungkan metode ulama ilmu kalam dan ilmu fiqih dengan berpijak pada dua kitab, yaitu: “Al Ihkam Fi Ushul Ahkam” karya Al Amidi dan “Kasyful Asrar” karya Al Bazdawi dalam bukunya Bada’iun Nizham. Dilanjutkan oleh Imam Syathibi (790) yang menulis Al Muwafaqat  dan Syihabudin al Qurafi (684 H) penulis buku Az Zakhirah dan “An warul Buruq fi Nawa’il Furuq” lalu Imam As Subki dalam bukunya Jam’ul Jawami’ yang disyarah (diberi keterangan) oleh beberapa ulama diantaranya Al Mahalli (761-864 H) dan Syarah Zarkasyi.
Semua kitab tersebut di atas hingga kini murni tidak terkontaminasi oleh logika Aristoteles.

Kedua: Aliran Mutakallimin.
Terdiri dari Asy’ariah seperti Abu Bakar al Baqillani dan Imam Al haramain atau Mu’tazilah dengan motor pemikirnya Abu Hasyim ali al juba’I guru abul Husain al bashari .
Ciri-ciri metode ini meletakkan furu’ (cabang) fiqih berdasarkan ushul (pokok) atau kaidah-kaidah umum. Hal tersebut murni logika yang berpijak pada al istidlal aqli dan pembuktian teoritis. Pada aliran ini Dipergunakan metode penelitian ilmu kalam atau perangkat logika yang pernah dikenal sebelum masa Imam Syafi’I. khususnya qiyas
Imam Al Gazali yang mula-mula memasukkan unsur logika Aristoteles ke ilmu-ilmu keislaman. Itu bukan hanya ketika ia menulis kitab-kitabnya dengan ibarah ( gaya bahasa) yang mudah dicerna tetapi karena prolog logika yang ia tulis dalam  pendahuluan (permulaan) kitabnya “Al Mustashfa”. Ia menyebutkan bahwa orang yang tidak menguasai manthiq tidak diakui kredibilitas keilmuannya. Atas “fatwa” ini, manthiq Aristoteles menjadi syarat/kriteria berijtihad dan hukum mempelajarinya fardhu kifayah. Atas sikapnya ini Al Gazali mendapat kritikan tajam dari para ulama fiqih.

Sejak masa itu mulailah para ulama ushul fiqih dari kalangan ulama ilmu kalam dikontaminasi logika Aristoteles dan mereka menulis khusus satu fasal dalam permulaan kitab-kitabnya dengan nama “pengantar ilmu kalam” atau “pengantar serapan” yang berisi ringkasan manthiq Aristoteles Dan pembahasan yang paling banyak dipengaruhi oleh ilmu manthiq yunani adalah “pembahasan lafaz (kata) ” berbeda dengan pembahasan qiyas yang  sampai saat ini masih murni dan jauh dari pengaruh manthiq Aristoteles…

Ringkasnya metode itu sudah terbentuk sejak Imam Hanafi (masa pertama) lalu para ulama ushul fiqh melakukan penyempurnan dan penambahan pembahasan baru sehingga sampai ke tangan Imam As Syafi’I dan menjadi disiplin ilmu yang integral dan komprehensif .

Jadi sebelum abad 5 metode tersebut tidak terkontaminasi oleh logika Aristoteles, lalu setelah masa Imam Syafi’I ia terklasifikasi menjadi 2: ilmu ushul beraliran fiqh dan ilmu ushul beraliran ilmu kalam. dan keduanya tidak terkontaminasi oleh manthiq Aristoteles.
Baru pada abad 5 H umat Islam kemudian menggabungkan ushul fiqh dengan logika Yunani. Dengan ini berakhirlah metode berfikir umat islam yang cemerlang dalam ilmu logika.
Sumber : http://www.agusromli.com/portal/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=31

Koleksi Makalah & Skripsi, Silabus & RPP KTSP, Promes, Prota, Pemetaan KD, Contoh PTK, Driver Notebook & Laptop.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar